Bea Masuk Anti-Dumping Ancam Hancurkan Industri Tekstil Nasional

Usulan Komite Anti Dumping (KADI) untuk mengenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) pada benang filamen sintetis tertentu asal China, seperti Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY), menuai penolakan. Lebih dari 100 pelaku industri menyatakan keberatan. Kekhawatiran akan dampak negatif terhadap industri tekstil dalam negeri menjadi sorotan utama.
Penolakan ini didasari pada potensi dampak buruk terhadap industri tekstil nasional. Kekurangan pasokan bahan baku dan potensi PHK massal menjadi isu yang mengemuka.
Defisit Pasokan Benang Filamen POY: Ancaman bagi Industri Tekstil
Ketergantungan industri tekstil dalam negeri pada impor benang filamen POY cukup signifikan. Produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 141.917 ton per tahun, sementara kebutuhan mencapai 257.680 ton. Defisit sebesar 115.763 ton ini membuat industri rentan terhadap gejolak harga dan pasokan.
Penerapan BMAD akan memperparah situasi. Kenaikan harga bahan baku akan memukul keras industri tekstil, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya mencapai lebih dari satu juta unit. Perusahaan besar dan menengah juga akan terkena dampaknya.
Potensi PHK Massal Akibat Penerapan BMAD
Dengan semakin mahalnya biaya produksi akibat penerapan BMAD, daya saing produk tekstil dalam negeri akan menurun. Hal ini akan berdampak pada penurunan produksi dan potensi penutupan pabrik.
Akibatnya, PHK massal mengancam sekitar 3 juta pekerja yang menggantungkan hidupnya pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Situasi ini tentu akan berdampak sosial dan ekonomi yang luas.
Desakan Penolakan Usulan KADI: Menjaga Keberlangsungan Industri Tekstil Dalam Negeri
Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, secara tegas mendesak pemerintah untuk menolak usulan KADI. Beliau berpendapat bahwa penerapan BMAD dengan tarif 5,12 persen hingga 42,3 persen akan sangat memberatkan industri TPT.
Fernando menambahkan, dukungan pemerintah terhadap industri dalam negeri sangat krusial. Keberhasilan dalam menjaga keberlangsungan industri tekstil dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Lebih lanjut, Fernando menekankan pentingnya mencari solusi alternatif untuk mengatasi masalah dumping tanpa harus mengorbankan industri dalam negeri. Kerjasama dengan negara produsen, diversifikasi pemasok, dan peningkatan efisiensi produksi bisa menjadi pertimbangan. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri namun tetap sejalan dengan prinsip perdagangan internasional yang adil.
Dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang luas, penolakan usulan KADI menjadi langkah yang lebih bijaksana. Pemerintah perlu memprioritaskan keberlangsungan industri dalam negeri dan kesejahteraan para pekerjanya. Membangun industri tekstil yang tangguh dan berdaya saing membutuhkan strategi yang holistik dan terintegrasi, bukan hanya bergantung pada kebijakan proteksionis yang berpotensi merugikan.