Berita

Raja Ampat: IUP Nikel Langgar UU, Putusan MK? HMI Bicara

Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai kontroversi. Ketua PB HMI Bidang Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Rifyan Ridwan Saleh, menilai izin tersebut melanggar hukum dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, aktivitas pertambangan di pulau kecil tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan yang tercantum dalam UUD 1945.

Pelanggaran Undang-Undang dan Putusan MK

Rifyan menegaskan bahwa Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 memprioritaskan pemanfaatan pulau kecil untuk konservasi, pendidikan, pariwisata, dan sektor kelautan berkelanjutan, bukan pertambangan.

Aktivitas di luar prioritas tersebut, termasuk pertambangan, harus memenuhi syarat pengelolaan lingkungan yang ketat dan menggunakan teknologi ramah lingkungan. Ini jelas tidak terpenuhi dalam kasus pertambangan nikel di Raja Ampat.

Lebih lanjut, Rifyan menjelaskan bahwa Pulau Gag, salah satu pulau di gugusan Raja Ampat yang menjadi lokasi pertambangan, masuk kategori pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km persegi.

Putusan MK Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, izin pertambangan di Raja Ampat dianggapnya sebagai pelanggaran hukum yang nyata.

Dampak Lingkungan dan Pelanggaran UUD 1945

Rifyan menekankan bahwa pertambangan di Raja Ampat tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945.

Pasal tersebut menekankan pentingnya perekonomian nasional yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkeadilan. Pertambangan nikel di Raja Ampat, menurutnya, mengabaikan prinsip-prinsip tersebut.

Aktivitas pertambangan ini dianggapnya mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat setempat demi keuntungan ekonomi semata.

Ia juga menyoroti Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang memberikan kewenangan kepada Menteri untuk mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil jika menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan.

Tuntutan Penghentian Permanen Aktivitas Tambang

Rifyan mendesak Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, untuk mengambil langkah tegas dan menghentikan aktivitas pertambangan di Raja Ampat secara permanen.

Ia menilai penghentian sementara tidak cukup, karena pelanggaran hukumnya sudah jelas. Selain itu, ia mencurigai adanya praktik korupsi di balik diterbitkannya izin pertambangan tersebut.

Keberadaan izin pertambangan yang jelas-jelas melanggar undang-undang dan putusan MK menunjukkan adanya potensi kongkalikong antara pemerintah dan perusahaan tambang.

Rifyan menyatakan dukungan penuh terhadap upaya penertiban aktivitas tambang di Raja Ampat dan berharap pemerintah bersikap tegas untuk menegakkan hukum dan melindungi lingkungan.

Raja Ampat sebagai destinasi wisata terkenal dunia seharusnya diprioritaskan untuk konservasi dan pariwisata berkelanjutan, bukan untuk pertambangan yang merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button