Krisis Air Mengancam Sumbawa: 51% Daratan Terancam Kekeringan

Pulau Sumbawa dihadapkan pada ancaman krisis air dan kerusakan lingkungan yang semakin serius. Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan, Julmansyah, menyampaikan peringatan ini dalam Musrenbang RPJMD Kabupaten Sumbawa Tahun 2025–2029 dan RKPD Tahun 2026. Peringatan ini disampaikan sebagai catatan kritis terhadap perencanaan pembangunan daerah.
Julmansyah menekankan pentingnya perencanaan pembangunan yang akurat dan tepat sasaran. RPJMD harus menjadi resep yang tepat untuk permasalahan yang dihadapi, khususnya penurunan produktivitas lahan dan potensi krisis air yang mengancam Sumbawa.
Krisis Air Mengancam 51 Persen Daratan Sumbawa
Lebih dari setengah daratan Pulau Sumbawa, tepatnya 51 persen, berpotensi mengalami krisis air. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 973 Tahun 2024.
Kondisi ini diperburuk oleh beberapa faktor. Penurunan debit air bendungan, perubahan pola tanam, dan ekspansi pertanian monokultur, terutama jagung di lahan miring, semakin memperparah krisis ini.
Julmansyah juga menyoroti pentingnya memahami kearifan lokal masyarakat Sumbawa (Tau Samawa) terhadap lahan. Mereka memandang lahan bukan hanya sebagai tanah kosong, tetapi sebagai bagian penting dari sistem kehidupan dan kesejahteraan.
Agroforestry: Solusi Berkelanjutan untuk Krisis Air di Sumbawa
Sebagai solusi jangka panjang, Julmansyah mengusulkan penerapan sistem agroforestry atau kebun campur. Sistem ini mengintegrasikan tanaman musiman dan tahunan seperti durian, avokad, kopi, dan kemiri.
Keuntungan sistem ini berlipat ganda. Selain meningkatkan nilai ekonomi, agroforestry juga meningkatkan infiltrasi air tanah dan memperkuat ketahanan pangan. Model ini telah terbukti berhasil di Wanagiri, Kecamatan Utan, sejak tahun 1989.
Penerapan agroforestry di lahan kering dan kawasan hutan Sumbawa sangat penting. Hal ini menjadi respons terhadap kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan krisis air yang sedang terjadi.
Kolaborasi dan Inovasi: Kunci Mengatasi Krisis
Mengatasi krisis air di Sumbawa membutuhkan kolaborasi dan inovasi dalam pembiayaan. Keterbatasan kapasitas fiskal daerah perlu diatasi dengan mencari alternatif pembiayaan.
Beberapa alternatif yang diusulkan meliputi program Integrated Area Development (IAD), keterlibatan sektor swasta, dan pengembangan jasa lingkungan berbasis insentif bagi masyarakat.
Julmansyah menegaskan bahwa RPJMD bukan hanya janji politik, melainkan rencana yang harus direalisasikan dengan data, inovasi, dan kolaborasi yang kuat. Pengelolaan lahan yang bijak akan menjamin ketersediaan air, meningkatkan hasil pertanian, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumbawa.
Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam di Sumbawa bergantung pada komitmen pemerintah daerah dan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pendekatan terintegrasi yang melibatkan kearifan lokal dan teknologi modern, krisis air dan kerusakan lingkungan dapat diatasi.
Pentingnya perencanaan yang berbasis data dan pemahaman terhadap kondisi lingkungan lokal menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Sumbawa. Semoga upaya kolaboratif ini dapat segera direalisasikan demi masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Sumbawa.