Berita

Paus Baru dari Indonesia? Konklaf Guncang Dunia Katolik

Konklaf, proses pemilihan Paus baru, akan berlangsung pada 7 Mei 2025. Peristiwa ini menarik perhatian dunia, khususnya mengingat komposisi para kardinal elektor yang semakin beragam secara geografis.

Kemungkinan terpilihnya Paus dari negara non-Katolik menjadi perbincangan hangat. Film fiksi “Conclave” yang menggambarkan skenario tersebut, menimbulkan pertanyaan menarik tentang realitas kemungkinan ini.

Konklaf 2025: Komposisi Kardinal yang Berbeda

Sebanyak 133 kardinal elektor akan berpartisipasi dalam konklaf kali ini. Angka ini turun dari 135 karena dua kardinal menyatakan ketidakhadiran karena alasan kesehatan.

Para kardinal berasal dari 7 benua dan 71 negara, mencerminkan keragaman Gereja Katolik global. Eropa masih mendominasi dengan 53 kardinal elektor, namun Asia menyusul dengan 23.

Associate Professor Joel Hodge dari Australian Catholic University mencatat perbedaan signifikan dalam komposisi konklaf ini. Upaya Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI selama 70 tahun terakhir membuahkan hasil berupa representasi yang lebih beragam dari luar Eropa.

Kehadiran kardinal dari negara seperti Timor Leste untuk pertama kalinya menandai peristiwa bersejarah dalam konklaf kali ini.

Kemungkinan Paus dari Negara Non-Katolik: Sebuah Skenario yang Mungkin

Meskipun beberapa kardinal dari Asia dan negara non-Eropa dianggap bukan unggulan, kemungkinan terpilihnya Paus dari negara mayoritas non-Katolik tetap terbuka.

Profesor Hodge menegaskan bahwa hal tersebut mungkin terjadi, tergantung pada berbagai faktor seperti teologi, spiritualitas, dan gaya kepemimpinan kandidat.

Aspek geopolitik juga akan menjadi pertimbangan penting bagi para kardinal. Paus terpilih harus mampu menavigasi hubungan kompleks di seluruh dunia.

Paus Fransiskus sendiri telah menunjuk kardinal dari negara dengan populasi Katolik yang kecil, seperti Mongolia, menunjukkan bahwa hal tersebut bukannya tanpa preseden.

Kardinal Suharyo: Kandidat dari Indonesia yang Rendah Hati

Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, adalah salah satu kardinal elektor.

Berbeda dengan beberapa kandidat lain, Kardinal Suharyo relatif kurang dikenal dan tidak pernah mengejar ambisi untuk menjadi Paus.

Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta, Romo Adi Prasojo, mengatakan Kardinal Suharyo lebih memprioritaskan pelayanan gereja daripada ambisi kekuasaan.

Kardinal Suharyo dikenal karena sikapnya yang progresif dan lantang dalam membela prinsip-prinsip gereja, seperti penolakannya terhadap rencana pemerintah Indonesia untuk memberikan izin tambang kepada organisasi keagamaan.

Meskipun demikian, Romo Adi menyatakan bahwa Kardinal Suharyo akan menerima pemilihannya sebagai Paus sebagai bentuk ketaatan jika terpilih.

Dibandingkan dengan Kardinal Suharyo, Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar, negara berpenduduk mayoritas Buddha, lebih dikenal dan dianggap memiliki peluang lebih besar.

Namun, Profesor Hodge menekankan bahwa sulit untuk memprediksi hasil konklaf, karena berbagai faktor tak terduga dapat terjadi di balik pintu tertutup Kapel Sistina.

Konklaf kali ini diperkirakan akan berlangsung lebih lama dari biasanya, karena tampaknya tidak ada kandidat yang sangat dominan.

Tugas berat menanti Paus baru terpilih, terutama dalam hal reformasi gereja, khususnya menyangkut keuangan, perlindungan anak, dan penanganan krisis pelecehan seksual.

Siapapun yang terpilih, ia akan menghadapi tantangan besar dalam memimpin Gereja Katolik di era yang penuh dinamika dan kompleksitas.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button