Kejagung Bantah Klaim Wilmar: Rp11,8 Miliar Bukan Dana Jaminan?

Kejaksaan Agung (Kejagung) membantah klaim Wilmar Group terkait Rp11,8 triliun yang disita. Wilmar menyebut uang tersebut sebagai dana jaminan dalam kasus korupsi ekspor CPO.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan tidak ada istilah “dana jaminan” dalam penanganan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Uang tersebut merupakan barang bukti atau uang pengembalian kerugian negara.
Penyitaan Uang Rp11,8 Triliun: Barang Bukti, Bukan Jaminan
Penyitaan uang tersebut telah mendapat izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juni 2025. Proses hukum masih berlanjut, dan uang tersebut akan dipertimbangkan dalam putusan pengadilan.
Kejagung telah mengajukan memori kasasi terkait penyitaan ini. Harli Siregar optimistis Kejagung akan memenangkan kasasi tersebut.
Uang tersebut disita dari lima terdakwa korporasi di Wilmar Group. Besarannya mencapai Rp11,8 triliun.
Tanggapan Wilmar Group: Klaim Jaminan Demi Percaya Diri
Wilmar Group dalam siaran persnya menyatakan uang tersebut sebagai dana jaminan. Mereka mengklaim telah menempatkan dana tersebut atas permintaan Kejagung.
Wilmar menyebut uang tersebut sebagai representasi sebagian kerugian negara dan keuntungan ilegal. Mereka juga menegaskan telah menyetujui dan menempatkan dana jaminan tersebut.
Pernyataan Wilmar ini bertentangan dengan pernyataan Kejagung. Kejagung bersikeras uang tersebut adalah barang bukti dan bagian dari pengembalian kerugian negara.
Kasus Korupsi Ekspor CPO dan Nasib Uang Miliaran Rupiah
Kasus ini terkait tindak pidana korupsi fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada tahun 2022. Lima anak perusahaan Wilmar Group di Indonesia terlibat dalam kasus ini.
Kejagung menyatakan optimis terhadap hasil kasasi. Nasib uang tersebut akan ditentukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Perbedaan pandangan antara Kejagung dan Wilmar Group menunjukkan kompleksitas kasus ini. Publik menantikan kejelasan hukum terkait nasib uang Rp11,8 triliun tersebut.
Proses hukum yang masih berlangsung dan perbedaan penafsiran antara Kejagung dan Wilmar Group menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus korupsi. Keputusan pengadilan nantinya akan menjadi penentu akhir dari polemik ini, memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.