Skandal CPO Rp11,8T: Siapa Pemilik Rahasia Wilmar Group?

Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) berhasil mengamankan dana sebesar Rp11,8 triliun. Dana ini terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Dugaan korupsi melibatkan sejumlah perusahaan di bawah naungan Wilmar Group, konglomerasi agribisnis besar dunia.
Siapa di Balik Wilmar Group?
Wilmar International didirikan oleh Kuok Khoon Hong, seorang pengusaha asal Singapura yang menjabat sebagai Chairman dan CEO.
Kuok, lulusan Sarjana Administrasi Bisnis Universitas Singapura, telah memimpin ekspansi Wilmar ke berbagai negara selama lebih dari 50 tahun.
Ia sukses membawa Wilmar menjadi salah satu konglomerasi agribisnis terbesar global, dengan proyek besar di sektor perkebunan kelapa sawit di Asia dan Afrika.
Selain Kuok, Martua Sitorus, pebisnis asal Pematangsiantar, juga merupakan pendiri Wilmar International.
Pada 2013, Forbes mencatat Martua sebagai orang terkaya ke-15 di Indonesia. Ia memulai karir dari perdagangan udang sebelum terjun ke bisnis sawit.
Martua juga pernah bermitra dengan perusahaan global seperti Kellogg dan mengembangkan portofolio bisnisnya ke sektor pertambangan.
Praktik Korupsi Ekspor CPO dan Peran Wilmar Group
Kejagung mengungkap dugaan praktik korupsi dalam ekspor CPO yang melibatkan Wilmar Group.
Beberapa pengacara dari perusahaan afiliasi Wilmar diduga menyuap aparat penegak hukum.
Tujuannya untuk mempengaruhi putusan hukum, sehingga beberapa korporasi dinyatakan lepas dari tuntutan hukum (onslaag van rechtvervolging).
Dalam konferensi pers pada Selasa, 17 Juni 2025, Jaksa Agung menunjukkan uang tunai Rp2 triliun yang dikembalikan lima anak usaha Wilmar Group.
Kelima entitas tersebut adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Kerugian Negara dan Upaya Pemulihan
Kejagung menyatakan kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp11,88 triliun.
Kerugian tersebut meliputi kerugian finansial negara, keuntungan ilegal (illegal gain), dan dampak buruk terhadap ekonomi nasional.
Penyitaan dana Rp11,8 triliun merupakan bagian dari upaya pemulihan kerugian negara.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sektor agribisnis dan penegakan hukum yang tegas untuk mencegah praktik korupsi.
Penanganan kasus ini diharapkan memberikan efek jera dan menjadi pelajaran berharga bagi pelaku usaha untuk menjalankan bisnis sesuai aturan hukum yang berlaku.