Energi Nuklir: Indonesia-Rusia Bahas Masa Depan Energi, Era Baru Segera Tiba?

Pemerintah Indonesia tengah menjajaki pembangunan infrastruktur energi nuklir sebagai bagian dari transisi energi bersih. Langkah ini dibahas dalam pertemuan awal antara Menko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dengan Duta Besar Rusia untuk Indonesia.
Indonesia dan Rusia Jajaki Kerja Sama Energi Nuklir
Deputi Bidang Koordinasi Pemerataan Pembangunan Wilayah, Agraria, dan Tata Ruang Kemenko IPK, Nazib Faisal, mengumumkan rencana ini dalam acara HUT Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO). Pertemuan AHY dengan Duta Besar Rusia, Sergei Tolchanov, juga melibatkan Rosatom, perusahaan energi nuklir Rusia.
Infrastruktur energi bersih, termasuk nuklir, menjadi fokus utama Kemenko IPK. Proyek ini diproyeksikan akan melibatkan berbagai sektor, mulai dari konsultan hingga konstruksi, menciptakan potensi kerja sama yang luas.
Sebagai contoh keberhasilan proyek energi terbarukan, Nazib menyebutkan PLTS terapung di Bendungan Cirata, Jawa Barat. Proyek ini melibatkan berbagai pihak mulai dari desain hingga operasional dan pemeliharaan.
Potensi Kerja Sama yang Luas dan Strategis
Menko IPK AHY juga berupaya memperluas kerja sama infrastruktur dengan Rusia. Momentum International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 dinilai sebagai kesempatan strategis untuk meningkatkan kolaborasi.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mendorong pembangunan nasional yang ambisius. Targetnya meliputi pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun dan penguatan ketahanan pangan, air, dan energi.
Energi Nuklir dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN)
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 resmi memasukkan energi nuklir sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Targetnya, pada 2060, energi nuklir akan berkontribusi hampir 8% dari total kapasitas pembangkit nasional.
Energi nuklir diproyeksikan sebagai pemasok listrik dasar (baseload) yang stabil. Hal ini penting untuk mendukung transisi energi dan pencapaian target emisi nol bersih (net zero emission).
Agus Hasan, profesor dari Norwegian University of Science and Technology, menjelaskan keunggulan energi nuklir dalam tulisannya di The Conversation. Ia menekankan pentingnya menggunakan metode levelized full system cost of electricity (LFSCOE) untuk menghitung biaya.
Metode LFSCOE memperhitungkan seluruh biaya tambahan untuk menjaga kestabilan sistem energi. Ini termasuk penyimpanan, infrastruktur jaringan, dan daya cadangan, yang krusial dalam integrasi energi terbarukan.
Studi Agus menunjukkan biaya listrik tenaga nuklir di Jerman lebih rendah dibanding energi surya dan angin. Dengan metode LFSCOE, biaya listrik tenaga nuklir hanya sekitar US$106/MWh, jauh lebih rendah daripada surya (US$1.548/MWh) dan angin (US$504/MWh).
Inisiatif pemerintah untuk mengeksplorasi energi nuklir sebagai bagian dari strategi transisi energi merupakan langkah yang kompleks. Namun, dengan perencanaan yang matang dan kolaborasi internasional yang tepat, potensi manfaatnya bagi ketahanan energi dan ekonomi Indonesia cukup menjanjikan.