Skandal Parkir Jakarta: BUMD Diduga Bancakan Partai Politik

Rencana pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus untuk pengelolaan parkir di Jakarta menuai kontroversi. Ketua Pansus Perparkiran DPRD DKI Jakarta, Jupiter, menolak keras usulan tersebut, menganggapnya sebagai potensi lahan bancakan bagi partai politik dan justru akan memperburuk masalah parkir di Ibu Kota. Ia memperingatkan risiko besar yang ditimbulkan, bukan hanya terkait pengelolaan parkir itu sendiri, tetapi juga implikasinya terhadap tata kelola pemerintahan daerah.
BUMD Parkir: Risiko Politik dan Potensi Korupsi
Jupiter, politisi Partai NasDem, secara tegas menyatakan penolakannya terhadap pembentukan BUMD parkir. Ia khawatir pembentukan BUMD baru akan membuka celah korupsi dan praktik politik transaksional. Proses penunjukan komisaris dan direksi, menurutnya, sangat rentan terhadap intervensi partai politik.
Hal ini, menurut Jupiter, bertentangan dengan prinsip efisiensi dan transparansi yang seharusnya menjadi landasan pengelolaan parkir. BUMD baru akan memerlukan penyertaan modal daerah (PMD), yang akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tanpa jaminan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Alternatif yang Lebih Efektif: Penguatan Sistem yang Ada
Jupiter menyarankan agar fokus utama diarahkan pada peningkatan pengawasan dan perbaikan regulasi yang ada, bukan pembentukan entitas baru. Ia mencontohkan banyak kota besar di Indonesia yang berhasil mengelola parkir secara efektif tanpa BUMD khusus. Unit Pengelola Perparkiran (UPP) di bawah Dinas Perhubungan, menurutnya, cukup efektif jika diberi penguatan.
Penguatan ini meliputi peningkatan pengawasan, integrasi sistem, serta perbaikan regulasi untuk menekan parkir liar dan kebocoran pendapatan. Dengan pengelolaan yang lebih profesional dan pengawasan yang ketat, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir bisa meningkat secara signifikan.
Potensi PAD yang Belum Tergali
Jakarta memiliki potensi pendapatan yang sangat besar dari sektor parkir. Jumlah kendaraan yang mencapai lebih dari 20 juta per hari, dengan asumsi tarif parkir Rp5.000 per jam, potensi PAD bisa mencapai Rp6 miliar per hari atau Rp1,8 triliun per tahun. Namun, realisasi PAD saat ini hanya sekitar Rp300 miliar. Kesenjangan yang besar ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan regulasi, terutama di sektor parkir off-street.
Revisi Perda dan Peran Unit Pengelola Perparkiran (UPP)
Anggota Pansus Perparkiran DPRD DKI Jakarta lainnya, Francine Widjojo, mengusulkan revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang parkir. Salah satu poin penting dalam revisi tersebut adalah pelimpahan pengelolaan parkir on-street dari UPP kepada BUMD baru.
Francine berpendapat bahwa peran UPP saat ini, yang hanya berfokus pada pembinaan dan pengawasan, tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perda Nomor 45 Tahun 2021. Ia melihat perlunya entitas baru untuk mengelola parkir on-street secara lebih efektif. Namun, usulan ini bertolak belakang dengan pandangan Jupiter yang lebih menekankan pada penguatan UPP dan perbaikan sistem yang sudah ada.
Kesimpulannya, perdebatan mengenai pembentukan BUMD parkir di Jakarta menyoroti dilema antara kebutuhan akan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan parkir dengan risiko potensi korupsi dan praktik politik yang mungkin terjadi. Pembahasan ini penting untuk memastikan pengelolaan parkir di Jakarta lebih efektif dan berkeadilan, sekaligus menjamin terwujudnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Fokus utama saat ini seharusnya diarahkan pada perbaikan sistem yang ada, penguatan pengawasan, dan perbaikan regulasi, untuk memaksimalkan PAD dari sektor parkir tanpa menambah kompleksitas birokrasi dan risiko korupsi.