Misteri Angsa Hitam: Skandal Progresivitas Mahkamah Konstitusi Terbongkar?
Mei 2025, sebuah buku berjudul “Angsa Hitam Menyalakan Jakarta” karya Eko Sulistyo menarik perhatian. Sampul belakangnya menampilkan kutipan Gubernur Jakarta Pramono Anung: “Angsa Hitam menggambarkan secara tepat kemenangan kami yang tak terduga dalam konstelasi politik Jakarta.”
Metafora “Angsa Hitam,” terinspirasi karya Nassim Nicholas Taleb, “The Black Swan,” menunjukkan kejadian langka dan tak terduga yang melampaui prediksi manusia. Kemenangan Pramono Anung-Rano Karno dalam Pilkada Jakarta 2024, dianggap sebagai fenomena serupa.
Pilkada Jakarta 2024: Kejutan “Angsa Hitam”
Pasangan Pramono Anung-Rano Karno mengalahkan Ridwan Kamil-Suswono yang didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus), yang kala itu didukung Presiden Joko Widodo. Kemenangan ini terjadi setelah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres Februari 2024.
Keikutsertaan Pramono Anung-Rano Karno bergantung pada putusan progresif Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 Agustus 2024. Putusan nomor 60/PUU-XXI/2024 menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Penurunan *threshold* ini menggagalkan skenario “borong parpol” dan RK-Suswono melawan kotak kosong. PDIP pun dapat maju sendiri, mencalonkan Pramono Anung dan Rano Karno.
Putusan Progresif MK dan Dampaknya
Progresivitas MK juga terlihat dalam putusan nomor 116/PUU-XXI/2023 pada 15 hari setelah pemilu serentak 2024. MK meminta perubahan *parliamentary threshold* 4 persen mulai Pemilu 2029.
Putusan ini berpotensi memicu perubahan besar, mulai dari penghapusan *threshold* hingga penurunannya. Pertanyaan utamanya adalah angka ideal dan konstitusional untuk *parliamentary threshold* yang baru.
Puncak progresivitas MK adalah penghapusan *presidential threshold* dalam putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 pada 1 Januari 2025. Putusan ini mengakhiri pembatasan pencalonan presiden dan wakil presiden yang berlaku sejak 2004.
Untuk mengantisipasi lonjakan kontestan, MK meminta DPR dan pemerintah melakukan rekayasa konstitusional. Keputusan ini disambut baik oleh banyak pihak, termasuk almarhum Rizal Ramli yang meninggal dunia beberapa saat setelah putusan dibacakan.
Pemisahan Pemilu dan Tantangan ke Depan
MK juga memutuskan pemisahan pemilu nasional dan lokal dengan jarak waktu 2-2,5 tahun. Putusan ini membatalkan pemilu serentak dan memicu respons keras dari Partai NasDem yang menilai MK melanggar konstitusi.
Keputusan ini memicu kontroversi. Argumen yang muncul antara lain kemungkinan rakyat jenuh, kurangnya waktu partai politik mempersiapkan kader, dan tenggelamnya isu pembangunan daerah oleh isu nasional.
Meskipun terdapat kontroversi, putusan MK untuk menyatukan pemilihan anggota DPRD dengan pemilihan kepala daerah dinilai positif. Hal ini mendorong kader untuk fokus pada pembangunan lokal dan kesejahteraan rakyat.
Sistem pemilu Indonesia selama ini kerap disebut sebagai tambal sulam, tanpa perencanaan arsitektur yang matang. Oleh karena itu, DPR memiliki peran vital dalam mengatur ulang sistem pemilu, termasuk menentukan *parliamentary threshold* yang tepat dan merekayasa sistem pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pemerintah dan DPR harus merespon putusan MK secara bijak dan menghindari konflik antarlembaga. Independensi MK harus dihormati. Waktu hingga Pemilu 2029 masih cukup untuk meredesain sistem pemilu yang lebih berkualitas dan diterima semua pihak. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejutan “angsa hitam” yang mengguncang dunia politik Indonesia.




