Berita

Putusan MK: Gempa Politik, Pemilu Nasional & Daerah Terpisah?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 telah menuai reaksi keras dari sejumlah partai politik. Partai-partai tersebut menilai putusan tersebut melampaui kewenangan MK, bahkan bertentangan dengan konstitusi. Potensi krisis ketatanegaraan dan pemerintahan pun dikhawatirkan akan muncul akibat putusan ini. Berbagai pihak telah menyampaikan keluhan mereka, hal ini disampaikan Wakil Ketua DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Adies Kadir, usai rapat terbatas DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu.

Reaksi beragam partai politik pun bermunculan, mulai dari kecaman atas tindakan MK yang dinilai mencuri kedaulatan rakyat hingga kekhawatiran atas terhambatnya program pemerintah. Berikut ini uraian lengkap reaksi partai-partai politik terhadap putusan MK tersebut.

Reaksi Keras Partai NasDem: MK Curi Kedaulatan Rakyat

Partai NasDem secara tegas menyatakan putusan MK sebagai tindakan inkonstitusional. Mereka menilai putusan tersebut mencuri kedaulatan rakyat dan menimbulkan problematika ketatanegaraan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian bernegara.

Dalam pernyataan resmi DPP NasDem, sepuluh poin keberatan disampaikan. Salah satunya adalah penilaian bahwa MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru, ranah yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.

NasDem menilai tindakan MK bertentangan dengan prinsip open legal policy. MK dianggap telah menjadi *negative legislator*, sebuah hal yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis.

Pemisahan pemilu DPR-DPD-presiden dan pemilu DPRD-kepala daerah dinilai melanggar Pasal 22E UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun.

Jika masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu, mereka akan menjabat tanpa legitimasi rakyat. Kondisi ini dinilai NasDem sebagai inkonstitusional dan merupakan pencurian kedaulatan rakyat. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan resmi dari MK.

Golkar: Putusan MK Berpotensi Menghambat Program Pemerintah

Partai Golkar, melalui Adies Kadir, menilai putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal 22E dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dilaksanakan setiap lima tahun.

Pemisahan pemilu nasional dan daerah dianggap bertentangan dengan semangat keserentakan. Semangat ini pernah diputuskan MK sendiri melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Adies Kadir mempertanyakan konsistensi MK dalam membuat putusan. Ia mempertanyakan apakah putusan akan berubah jika ketua MK atau hakimnya berganti.

Golkar khawatir putusan tersebut akan berdampak pada pelaksanaan program pemerintah pusat di daerah. Program presiden yang belum sepenuhnya merata di semua daerah akan semakin terhambat jika pemilu lokal baru dilaksanakan dua setengah tahun setelah pemilu nasional.

PKB: MK Melanggar Konstitusi

Wakil Ketua Umum PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menyatakan MK telah melampaui batas konstitusional. Putusan MK dinilai telah melebihi undang-undang dan konstitusi.

Konstitusi mengatur pemilu lima tahun sekali, sementara MK dianggap telah melanggar konstitusi itu sendiri. Cucun juga memperingatkan dampak masa transisi panjang akibat pemisahan jadwal pemilu terhadap jalannya pemerintahan.

Partai-partai politik kemungkinan akan membahas putusan MK secara kolektif. Namun, Cucun menegaskan tidak ada konflik antara DPR dan MK. Yang penting adalah semua pihak tetap berjalan sesuai jalur yang benar.

PDI-P: Masih Merumuskan Sikap Resmi

PDI-P, sebagai partai terbesar di DPR, masih merumuskan sikap resminya. Mereka sedang melakukan kajian mendalam terhadap implikasi hukum dan teknis penyelenggaraan pemilu jika putusan MK dijalankan.

PDI-P perlu menimbang berbagai aspek, termasuk implikasi terhadap UU selanjutnya. Mereka masih membutuhkan masukan dari berbagai narasumber.

Opini Ahli: Kenyamanan yang Terganggu

Pakar Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu. Pengurus partai politik sudah terbiasa dengan sistem pemilu yang berlaku.

Bivitri menepis anggapan putusan MK inkonstitusional. Ia menilai MK telah bertindak sesuai tugas dan fungsinya sebagai penjaga konstitusi negara. MK bahkan meminta pembentuk undang-undang untuk membuat rekayasa konstitusional yang sesuai dengan penafsiran konstitusi dari sembilan hakim MK.

Sekilas Tentang Putusan MK

MK memutuskan memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah dilakukan bersamaan, paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden.

Putusan ini mempertimbangkan belum adanya revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sejak Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. DPR dan pemerintah sedang mempersiapkan reformasi undang-undang terkait pemilu.

Reaksi beragam partai politik terhadap putusan MK ini menandakan adanya perbedaan pandangan yang signifikan. Debat publik pun akan terus berlangsung, mengarah pada dinamika politik dan hukum yang kompleks menuju pemilu 2029. Bagaimana DPR dan pemerintah akan merespon dan merekayasa konstitusional sesuai arahan MK menjadi hal yang patut untuk dinantikan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button