Ibu Tiri Semarang: Curhat Gagal, Restorative Justice Anak Tiri?

Sebuah upaya _restorative justice_ (RJ) dalam kasus pencemaran nama baik antara seorang anak tiri dan ibu tirinya di Semarang menemui jalan buntu. Sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang, Selasa (10/6/2025), gagal mencapai kesepakatan karena syarat yang diajukan oleh korban dinilai tidak relevan dengan pokok perkara. Kasus ini bermula dari curhatan anak tiri (JS) kepada pihak gereja terkait keberatannya atas rencana pernikahan kembali ibu tirinya (LJ). Curhatan tersebut kemudian bocor dan menjadi dasar pelaporan.
Hakim Dian Kurniawati sempat menawarkan opsi RJ mengingat ancaman hukuman di bawah lima tahun. Ibu tiri, LJ, menyatakan kesediaannya namun dengan beberapa syarat. Sementara itu, terdakwa JS, melalui kuasa hukumnya, menolak melibatkan pihak gereja dalam proses RJ.
Proses RJ yang Gagal
Hakim Dian Kurniawati, yang memimpin persidangan, mengajukan opsi _restorative justice_ kepada LJ. LJ menyatakan setuju, namun dengan sejumlah syarat yang akan diungkap kemudian.
Kuasa hukum JS, Michael Deo, mengajukan keberatan. Ia menginginkan proses RJ hanya melibatkan kedua belah pihak dan hakim sebagai mediator, tanpa melibatkan pihak gereja. Perkara ini, menurut Deo, menyangkut privasi JS. Ia meminta sidang digelar tertutup jika LJ ingin mengungkapkan syaratnya.
Sidang pun akhirnya dilanjutkan secara tertutup. Namun, setelah sidang, Deo mengumumkan bahwa upaya RJ telah menemui jalan buntu atau _deadlock_.
Syarat Ibu Tiri yang Menjadi Kendala
Syarat yang diajukan LJ dianggap oleh kuasa hukum JS sebagai hal yang di luar konteks perkara, dan tidak berkaitan sama sekali dengan inti masalah. Salah satu syarat yang diajukan adalah permintaan maaf dari JS.
Meskipun secara kemanusiaan JS bersedia meminta maaf jika LJ merasa keberatan, Deo menegaskan kliennya tidak bersalah. Ia juga mempertanyakan bagaimana surat curhat JS bisa sampai ke LJ dan mempertanyakan peran pihak gereja dalam kebocoran informasi tersebut.
Pernyataan Jaksa dan Langkah Selanjutnya
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Supinto Priyono, membenarkan bahwa syarat yang diajukan LJ untuk RJ adalah permohonan maaf dari JS kepada LJ dan pendeta gereja yang menerima curhat. Karena tidak tercapai kesepakatan, upaya RJ dinyatakan gagal.
Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda eksepsi. JPU menyatakan kemungkinan permohonan maaf masih bisa diajukan kembali untuk mempertimbangkan opsi RJ. Kasus ini berawal dari surat keberatan JS kepada gereja pada 2020 terkait rencana pernikahan kembali ibu tirinya. LJ kemudian melaporkan JS atas dugaan pencemaran nama baik, dituntut berdasarkan Pasal 311 ayat 1 KUHPidana dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
Kasus ini menyoroti pentingnya menjaga kerahasiaan informasi, terutama dalam konteks curhat pribadi. Kegagalan RJ dalam kasus ini juga menunjukkan kompleksitas penerapan mekanisme RJ, terutama ketika syarat yang diajukan tidak sesuai dengan substansi permasalahan. Persidangan selanjutnya akan menentukan nasib JS. Kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut untuk melihat bagaimana kasus ini akan berakhir.