Nasib Harimau Sumatera: Luka Jerat, Perjuangan Hidup Mati

Seekor harimau Sumatera ditemukan mati setelah 28 hari perawatan intensif di Jambi. Kematian satwa dilindungi ini menyoroti ancaman serius yang dihadapi harimau akibat perburuan dan perangkap. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Agung Nugroho, mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian ini dan menekankan pentingnya upaya konservasi yang lebih efektif.
Kematian harimau ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas upaya penyelamatan satwa liar yang terluka akibat jerat. Tingkat keberhasilan penyelamatan, menurut Agung, hanya sekitar 50 persen. Hal ini menyiratkan perlunya strategi baru dan kolaborasi yang lebih kuat dalam melindungi harimau Sumatera.
Kematian Harimau Sumatera Akibat Jerat: Sebuah Tragedi Konservasi
Harimau Sumatera yang ditemukan terjerat di kawasan hutan tanaman rakyat (HTR) Bungo Pandan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi pada 10 Mei 2025, akhirnya meninggal dunia pada 9 Juni 2025.
Meskipun telah mendapatkan perawatan intensif di tempat penyelamatan satwa (TPS) milik BKSDA Jambi, upaya penyelamatan nyawanya gagal.
Meskipun tim medis telah berupaya maksimal, kondisi harimau terus memburuk. Luka yang dideritanya mengalami infeksi dan peradangan.
Penurunan drastis imun tubuh akibat luka tersebut membuat harimau rentan terhadap serangan virus.
Kronologi Perawatan dan Kematian Harimau
Setelah dievakuasi pada 13 Mei 2025, harimau tersebut menjalani perawatan intensif di TPS Mendalo. Awalnya, kondisi harimau menunjukkan perkembangan positif.
Peningkatan nafsu makan dan respons terhadap rangsangan menjadi indikator awal kesembuhan.
Namun, pada 4 Juni, kondisi luka memburuk. Terjadi peradangan dan nekrosis pada beberapa jaringan.
Meskipun nafsu makan masih baik, harimau mulai pincang akibat peradangan pada luka di kaki depannya.
Kondisi harimau terus memburuk hingga akhirnya menolak makan pada 9 Juni. Gejala lain seperti muntah dan diare bercampur darah muncul.
Meskipun mendapat perawatan medis darurat, harimau Sumatera tersebut akhirnya meninggal dunia pada pukul 21.45 WIB.
Hasil pemeriksaan pasca-kematian menunjukkan dugaan kuat penyebab kematian adalah virus panleukopenia, yang menyerang saat daya tahan tubuh harimau sangat lemah.
Upaya Pencegahan dan Konservasi Harimau Sumatera
Kematian harimau ini menjadi pengingat akan ancaman serius yang dihadapi spesies langka ini. Jerat menjadi salah satu faktor utama penyebab kematian harimau di alam liar.
BKSDA Jambi menekankan pentingnya kesadaran masyarakat untuk mencegah penggunaan jerat dan melindungi habitat harimau.
Agung Nugroho menyerukan kolaborasi lebih erat antara BKSDA, masyarakat, dan pihak terkait lainnya dalam upaya konservasi.
Peningkatan patroli dan sosialisasi kepada masyarakat menjadi kunci dalam menekan angka kematian harimau akibat jerat.
Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang penyakit yang menyerang harimau Sumatera sangat penting untuk mengembangkan strategi pencegahan yang efektif.
Perlindungan habitat dan pengurangan konflik antara manusia dan harimau juga menjadi aspek krusial dalam upaya konservasi jangka panjang.
Kehilangan harimau Sumatera ini merupakan tragedi bagi upaya konservasi. Namun, kejadian ini juga harus menjadi momentum untuk memperkuat komitmen dan tindakan nyata dalam melindungi spesies langka ini dari kepunahan. Upaya kolaboratif dan strategi yang komprehensif sangat diperlukan untuk memastikan kelangsungan hidup harimau Sumatera di masa mendatang.