Berita

AS-China: Dialog Shangri-La Picu Krisis Global Baru?

Dialog Shangri-La, forum keamanan dan pertahanan terbesar di Asia, baru saja berakhir di Singapura. Forum tahunan ini, yang berlangsung dari 30 Mei hingga 1 Juni 2025, menjadi panggung utama ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Pernyataan-pernyataan keras dari pejabat AS dan respons dari pihak China menandai peningkatan signifikan dalam rivalitas kedua negara di kawasan Indo-Pasifik.

Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Trump, menegaskan komitmennya terhadap Indo-Pasifik. Hal ini ditunjukkan melalui seruan tegas kepada sekutu-sekutu Asia untuk meningkatkan pertahanan mereka.

Ketegangan AS-China Memuncak di Shangri-La Dialogue

Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, secara gamblang menuding China sebagai ancaman utama. Ia menyebut China lebih dari 20 kali dalam pidatonya, memperingatkan potensi invasi ke Taiwan. Hegseth menekankan bahwa upaya China untuk menaklukkan Taiwan secara militer akan berakibat fatal bagi kawasan Indo-Pasifik dan dunia.

Pernyataan Hegseth langsung disambut protes keras dari China. Laksamana Muda Hu Gangfeng, pemimpin delegasi China, menyebut tuduhan tersebut tidak berdasar. Kementerian Luar Negeri China juga mengeluarkan pernyataan resmi, menyalahkan kehadiran militer AS di Asia Pasifik sebagai pemicu utama ketegangan.

Ketidakhadiran Menteri Pertahanan China: Sebuah Strategi?

Ketidakhadiran Menteri Pertahanan China, Dong Jun, di Dialog Shangri-La menjadi sorotan. Meskipun pihak China menyatakan hal ini karena bentrok jadwal, beberapa analis berpendapat bahwa ketidakhadiran tersebut merupakan strategi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan sulit terkait keamanan regional.

Ketidakhadiran ini juga bertepatan dengan presentasi pertama kebijakan Indo-Pasifik AS di panggung global. Sejumlah pengamat menilai China memilih pendekatan defensif dan menunggu langkah selanjutnya dari AS sebelum merespon. Mereka memprediksi respons China mungkin akan muncul di Forum Xiangshan di Beijing pada September atau Oktober mendatang.

Masa Depan Hubungan AS-China: Konfrontasi Terkendali?

Aktivitas militer China di sekitar Taiwan terus meningkat, meskipun China menyatakan tujuan reunifikasi dengan cara damai. Peningkatan patroli angkatan laut dan penjaga pantai di perairan Asia Timur sejak awal Mei menunjukkan agresi yang tak kunjung surut.

Meskipun ada kemungkinan eskalasi, beberapa ahli memperkirakan operasi pertahanan sehari-hari kedua negara akan semakin konfrontatif, tetapi tanpa eskalasi yang tiba-tiba. Hal ini berbeda dengan pernyataan tahun lalu dari mantan Menhan AS, Lloyd Austin, yang menekankan bahwa perang dengan China tidak akan segera terjadi, tetapi juga tidak dapat sepenuhnya dihindari.

Perancis, melalui Presiden Emmanuel Macron, turut menyoroti risiko perpecahan global akibat polarisasi AS-China. Macron memperingatkan bahwa memaksa negara lain untuk memilih pihak hanya akan merusak tatanan global.

Kehadiran Taiwan yang Minim di Dialog Shangri-La

Meskipun Taiwan menjadi titik konflik yang sangat sensitif, kehadirannya dalam Dialog Shangri-La terbilang minim. Nama Taiwan bahkan tidak tercantum dalam daftar peserta resmi, termasuk dua perwakilan Taiwan: I-Chung Lai dan Andrew Nien-dzu Yang. Hal ini menunjukkan kompleksitas hubungan Taiwan dengan komunitas internasional, khususnya dalam konteks ketegangan AS-China.

Ketegangan di sekitar Taiwan tetap tinggi. Sejak Presiden Taiwan William Lai menjabat, pelanggaran garis median Selat Taiwan oleh pesawat militer China meningkat signifikan. Hegseth bahkan memperingatkan potensi serangan China pada 2027, sebuah klaim yang dibantah oleh China, namun tetap menekankan komitmen reunifikasi, baik secara damai maupun tidak.

Kesimpulannya, Dialog Shangri-La 2025 menandai babak baru dalam ketegangan AS-China. Meskipun ada beberapa pandangan yang optimistis tentang kemungkinan menghindari eskalasi langsung, aktivitas militer yang meningkat di sekitar Taiwan dan retorika keras dari kedua belah pihak menunjukkan perlunya kewaspadaan dan diplomasi yang cermat untuk mencegah konflik yang lebih besar. Peran komunitas internasional, khususnya negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, menjadi kunci dalam menjaga stabilitas regional.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button